GAGALNYA PEMBENTUKAN NAIMARATA

Gagalnya Pembentukan Kesultanan Simarata di Tanah Batak

Seandainya Luther tidak terciduk intel Gubernemen di Doloksanggul, Humbang tahun 1929 maka dinamika sejarah politik Tanah Batak masa kolonial mungkin telah melahirkan sebuah kesultanan baru, Kesultanan Simarata yang mencakup wilayah Barus dan Limbong-Sagala.


Setidaknya, jika diandaikan juga Gubernemen atau Pemerintah Kolonial Belanda menolak aspirasi politik tersebut, setidaknya sejarah akan mencatat adanya gerakan terbuka untuk membentuk Kesultanan Simarata di Tanah Batak.


Tidak banyak orang yang tahu, bahkan orang Batak sendiri, mengenai gagasan pembentukan kesultanan itu. Sampai kemudian penyair Sitor Situmorang (2004) membuka fakta itu dalam bukunya, Toba Na Sae, sebuah karya wajib baca bagi pengkaji Batak Toba.


Bagian dari Lembah Limbong Sagala dengan latar belakang Gunung Pusukbuhit, Samosir (Foto: terakurat.com)

Bagian dari Lembah Limbong Sagala dengan latar belakang Gunung Pusukbuhit, Samosir (Foto: terakurat.com)

Luther yang terciduk spion Belanda itu adalah salah seorang dari komite (panitia) pembentukan Kesultanan Simarata. Saat dia tertangkap tahun 1927, upaya pembentukan kesultanan itu masih berupa “gerakan bawah tanah”.


Pertanyaan penting di sini, siapa itu Simarata dan mengapa muncul gerakan politik pembentukan Kesultanan Simarata di Tanah Batak?.


Penjelasannya cukup kompeks tapi, dengan merujuk pada Sitor Situmorang dan sumber-sumber lain, saya akan coba sederhanakan di sini.


Soal Eksistensi Simarata

Laporan hasil interogasi polisi Belanda mengungkap gerakan bawah tanah pembentukan Kesultanan Simarata diinisiasi oleh Kelompok Naimarata. Luther termasuk dalam kelompok itu.


Pertanyaannya, tentu saja, siapa itu Kelompok Simarata dalam masyarakat Batak Toba? Untuk mengenalinya, perlu menelusur ke pangkal silsilah orang (suku) Batak Toba.


Saya coba buat sederhana saja. Siraja Batak, “orang Batak Pertama” yang berdiam di Sianjurmulamula (lembah Limbong-Sagala, kaki barat Gunung Pusukbuhit) “berputera” dua, Tateabulan atau Ilontungon dan Isumbaon.


Dua belahan besar (moety) suku Batak Toba berakar dari sini: Belahan Lontung (keturunan Ilontungon/Tateabulan) dan Belahan Sumba (keturunan Isumbaon).


Belahan Sumba, untuk membicarakannya lebih dulu, adalah keturunan Sorimangaraja, putera Isumbaon, dari tiga “isteri” yaitu Naiambaton (Sorbadijulu), Nairasaon (Sorbadijae) dan Naisuanon (Sorbadibanua).


Persebaran Belahan Sumba itu begini. Keturunan Naiambaton (Simbolon, Munte, Tamba, Saragi) mendiami pulau Samosir bagian utara. Keturunan Nairasaon (Manurung, Sitorus, Sirait, Butarbutar) menduduki daratan Uluan di seberang timur Samosir.


Sedangkan keturunan Naisuanon (Sibagotnipohan, Sipaettua, Silahisabungan, Sirajaoloan, Sirajasumba, Sirajasobu, Naipospos) menduduki wilayah Toba Holbung di selatan Danau Toba dan sebagian besar daratan seberang barat Samosir.


Kiblat politik genealogi Belahan Sumba adalah Bius Baligeraja (Balige), bius utama Sumba di Toba Holbung. Di situ Sorimangaraja, pendeta-raja dari garis Sorimangaraja yang dilanjutkan Sibagotnipohan, duduk memerintah bius. Bius adalah federasi horja, sedangkan horja adalah federasi huta (kuta, kampung).


Sekarang mengenai Belahan Lontung yang agak kompleks. Belahan ini mencakup keturunan Ilontungon (Tateabulan) dari empat “putera”-nya yaitu Sariburaja, Limbongmulana, Sagalaraja, dan Malauraja. Sebenarnya ada “putera” pertama, Raja Biakbiak atau Raja Uti, tapi (konon) “terbang” ke wilayah Barus di barat.


Saya jelaskan Limbongmulana dan Sagalaraja dulu. Dua kelompok ini, menurunkan marga-marga Limbong dan Sagala, tetap mendiami kampung leluhur, Sianjurmulamula. Mewarisi bius pertama, Bius Sianjurmulamula di situ. Bius ini kemudian disebut Bius Limbong-Sagala, di bawah kepemimpinan pendeta-raja Jonggimanaor. Ini dinasti pendeta-raja dari garis marga Limbong.


Malauraja, yang menurunkan marga induk Malau, diusir Sagala dan Limbong dari Sianjurmulamula. Konon karena membela saudaranya Sariburaja yang melakukan inses dengan saudari kembarnya, Boru Pareme. Sejak itu Malau dan marga-marga turunannya bermigrasi ke Samosir utara, bahkan menyeberang ke timur laut, ke wilayah Sidamanik sekarang.


Sariburaja, “putera” kedua, memiliki dua “putera”. Pertama, Siraja Lontung (mengambil nama kakeknya), hasil “inses” dengan Boru Pareme. Kedua, Siraja Borbor, hasil perkawinannya dengan Boru Mangiringlaut, konon putri “mahluk halus”.


Kelompok keturunan Siraja Lontung (Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Siregar, Aritonang) menguasai wilayah Samosir selatan. Ditambah lembah Sabulan dan lembah Muara di seberang barat Danau Toba.


Kelompok Siraja Lontung ini mendirikan bius utama di Urat, Palipi, Samosir selatan, sebagai kiblat politik genealogi seluruh wilayah Siraja Lontung. Pendeta rajanya adalah Ompu Paltiraja, dinasti yang dibangun dari garis marga Sinaga.


Akan halnya Siraja Borbor, saat dia lahir, Sariburaja ayahnya langlang buana ke Barus, konon mencari Siraja Uti (abangnya). Karena itu kelahirannya ditunggui oleh adik-adik bapaknya, Sagalaraja, Limbongmulana dan Malauraja.


Proses kelahiran Borbor yang “tanpa kehadiran ayah” lalu menuntun ibunya dan tiga saudara ayahnya mengikat padan (perjanjian) “Borbor Marsada”. Inti perjanjian itu, Borbor menjadi satu kesatuan dengan Limbong, Sagala, dan Malau.


Berdasar perjanjian itu maka kelompok keturunan Borbor menyatu ke dalam bius Limbong-Sagala. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah marga-marga Pasaribu, Batubara, Parapat,Tarihoran, Matondang, Saruksuk, Sipahutar, Harahap, Tanjung, Pulungan, Lubis, Simargolang dan Rambe.


Seiring tekanan demografis di lembah Limbong-Sagala, keturunan Borbor ini kemudian bermigrasi ke Humbang, Habinsaran hingga Sipirok di selatan. Sebagian lagi, antara lain Pasaribu, bermigrasi ke Barus di barat dan mendirikan “kerajaan” di situ.


Kelompok “Borbor Marsada” itulah yang mengidentifikasi diri bagai Simarata. Nama ini diambil dari “gelar kerajaan” Tuan Sorimangarata, disingkat Naimarata atau Simarata, yang disematkan pada Tateabulan. “Gelar kerajaan” yang satu lagi, yaitu Raja Ilontungon, telah diambil oleh Siraja Lontung, anak pertama Sariburaja.


Penggunaan nama “Simarata” itu bernilai politis juga. Sebab jika menggunakan nama “Borbor Marsada”, maka ada kemungkinan Limbong, Sagala, dan Malau resisten. Karena eksistensi BIus Limbong Sagala seolah terkooptasi Borbor.


Lagi, penggunaan nama Simarata menjadikan kelompok itu setara dengan Siraja Lontung, karena sama-sama merujuk pada leluhur yang satu, Tateabulan.


Menjadi jelas pula bahwa kelompok Simarata tidak mau terkooptasi se ara politik genealogi oleh kelompok Siraja Lontung, keturunan Boru Pareme. Ini terkait dengan sejarah masa lalu yaitu, pertama, pengusiran Sariburaja (ayah Siraja Lontung) oleh Limbong dan Sagala akibat laku insesnya dengan Boru Pareme. 


Lalu, kedua, fakta bahwa Siraja Lontung adalah generasi keempat per silsilah, sedangkan Limbong dan Sagala generasi ketiga. Ketiga, adanya persaingan terselubung antara Siraja Lontung dan Siraja Borbor sebagai dua saudara tiri yang merasa setara.


Alhasil, di balik dua belahan Batak Toba, Lontung (Tateabulan) dan Sumba, sebenarnya ada dua sub-belahan yang bersaing di Belahan Lontung, yaitu sub-belahan Siraja Lontung dan Simarata. 


Siraja Lontung mendirikan bius di Urat, Simarata melanjutkan eksistensi bius Sianjurmulamula atau Limbong Sagala. Keduanya tegak dengan kedaulatan dan kepentingan politik genealogis masing-masing.

Bersambung........

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PASARIBU

BORBOR MARSADA MARPADAN

Benarkah ? Habeahan,Bondar,Gorat Saja marga Pasaribu,Mari kita cek faktanya.